Thursday, May 30, 2013

Memberdayakan Kaum Perempuan Melalui Tenun

Kemiskinan masih melekat pada kaum perempuan di Desa Batu Jai, Kecamatan Praya Barat,  Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Tak hanya itu, perempuan di Desa ini  juga kurang terpenuhinya hak-hak dasar hidup seperti jaminan kesehatan, kurangnya air bersih, terbatasnya pendidikan, mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), serta pengakuan terhadap peran mereka yang masih sangat minim.

Saya Lale Alon Sari (45 th) dengan 3 orang anak dan sebagai istri Sekdes Batujai prihatin dengan kondisi ini. Pada tahun 1987 ia pun turun ke dusun-dusun untuk memotivasi kaum perempuan berkumpul dan memberdayakan diri secara bersama-sama melalui Aliansi Peduli Perempuan Kembang Komak (AP2K). Resistensi yang muncul saya atasi dengan mendekati kalangan adat dan perangkat desa serta kepala dusun sehingga kegiatan kaum perempuan ini tidak dianggap menentang tradisi dan berseberangan dengan program pemerintah desa.
Aliansi ini kemudian memilih pemberdayaan melalui keterampilan menenun yang telah dikuasai perempuan setempat secara turun-temurun. Dengan alat tenun yang dimiliki setiap keluarga,
saya mengajak mereka untuk mandiri, baik dari sisi permodalan, bahan baku, pemasaran sehingga tidak tergantung lagi pada pedagang pengumpul yang datang secara rutin ke desa tersebut.

Dalam perjalanan memberdayakan sesama  perempuannya di desa Batu
jai,  dengan dampingan ASPPUK Nusa Tenggara ,  dalam proses  pendampingan   kemudian  membentuk  Koperasi Wanita "STAGEN"  untuk mengatasi permodalan  dan bahan baku para penenun sekaligus mengatasi praktek rentenir. Untuk tambahan modal, saya menjaminkan tanah dan bangunan milik keluarga saya untuk mendapatkan kredit sebesar Rp15 juta dari sebuah bank. Saya juga menghibahkan tanah untuk pembangunan Artshop yang menjual hasil tenun. Sementara di bidang kesehatan saya juga menghibahkan tanah milik keluarga saya untuk dibangun puskesmas pembantu oleh pemerintah.

Ada
60 kelompok perempuan penenun dengan anggota 600 orang warga Desa Batujai yang saat ini tergabung dalam AP2K. Setiap bulan anggota kelompok ini bisa menghasilkan 2.400 lembar kain tenun per bulan dengan beragam motif asli Lombok.

Selain melalui artshop yang kerap dikunjungi turis lokal maupun mancanegara,
saya juga melobi pemerintah dan DPRD setempat bersama  ASPPUK, PPK dan JarPUK serta Konsorsium LSM Loteng agar mengkampanyekan pemakaian tenun  asli Lombok Tengah kepada para pelajar maupun PNS. Hasilnya, sejak 1 Januari 2012 lalu, Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah mewajibkan semua PNS mengenakan pakaian berbahan tenun setempat setiap hari Kamis.  Kami sampai kewalahan memenuhi pesanan.   Dengan harga yang berpariasi, mulai dari Rp 200 ribu hingga Rp 1 juta, para penenun mendapatkan hasil yang lumayan. Rata-rata untuk satu lembar bisa mendapatkan untung Rp100 ribu. "Sebelum bergabung dalam kelompok tenun dan AP2K, dari satu lembar tenunan, paling bisa dapat untung Rp15 - Rp20 ribu," ungkap Nuraeni (45 th), salah satu penenun dan salah satu anggota keleompok.
 
Hasilnya, kesejahteraan perempuan dan keluarganya makin bertambah melalui produksi tenun yang meningkat, harga bahan baku lebih murah, harga jual yang lebih tinggi, saluran distribusi penjualan yang lebih banyak. Masyarakat pun mudah mendapatkan layanan kesehatan dengan adanya Puskesmas Pembantu di desa mereka.
Dampak positif kegiatan yang
kami lakukan diakui Camat Praya Barat Drs. Lalu Herdan Msi. "Kami berharap dan sedang upayakan agar pemberdayaan kaum perempuan seperti dilakukan Ibu Lale bisa dikembangkan di desa-desa lain di Praya Barat. Dengan keterampilan yang dimilikinya, kaum perempuan bisa mandiri," ungkap Lalu Herdan. Bukan hanya Pemerintah kecamatan juga dari Kabupaten sampai Propinsi.

ASPPUK mencoba mengirimkan profil saya ke Danamon Award, bukan hanya saya saja ada 4 teman di Jarpuk juga mengikuti seleksi , saya mengikuti seleksi secara bertahap  dan akhirnya hanya saya yang mendapat  penghargaan dari Danamon Award.  Hasil ini tidak luput dari bantuan teman-teman di ASPPUK dan JarPUK, PPK dan masyarakat Batujai.
Apa yang saya lakukan ini mendapat perhatian dari Aktivitas pemberdayaan perempuan dan seorang artis yaitu Oppie Andaresta. Menurutnya, sebagai perempuan yang hidup di desa, ibu Lale memiliki pemikiran yang maju. "Umumnya perempuan di desa menempatkan diri mereka lebih rendah dan itu dianggap sebagai kodrat," ungkap Oppie. Ia mengaku  salut pada saya dalam memperjuangkan hak-hak dasar hidup kaum perempuan baik secara ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. "Perspektif bahwa perempuan harus di rumah saja dan tidak perlu bekerja ia ubah dan itu bisa diadaptasi masyarakat desa secara luas," ujar Oppie.
Mimpi saya ke depan adalah bagaimana perempuan-perempuan di desa saya bertambah maju dan sejahtera bukan saja ekonominya tapi semuanya……………………….

Maju terus perempuan………….…!!!!!!!!!  

No comments:

Post a Comment